BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial,
manusia memerlukan sebuah interaksi dengan sesamanya. Dan proses interaksi itu tidak
selamanya berjalan dengan baik, namun ada kalanya dihiasi dengan konflik horizontal
sehingga dalam kasus ini diperlukan adanya suatu institusi yang menjadi pemutus
konflik tersebut. Dalam kehidupan bernegara, institusi ini menjelma dalam bentuk
Lembaga-lembaga peradilan.
Putusan pengadilan merupakan
salah satu dari hukum acara formal yang akan dijalani oleh para pihak yang terkait
dalam perkara perdata. Dari beberapa proses yang dilakukan oleh para pihak yang
berperkara, putusan dan bagaimana putusan itu dilaksanakan adalah tahapan yang menjadi
tujuan. Karena apabila terdapat suatu yang belum atau tidak terpenuhi sesuai dengan
ketentuan atau syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang maka putusan yang
dihasilkan menjadi cacat hukum dan bahkan akan menjadi batal demi hukum.[1]
Dengan kata lain pencari
keadilan mempunyai tujuan akhir yaitu agar segala hak-haknya yang dirugikan oleh
pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan pengadilan/hakim. Pemulihan tersebut
akan tercapai apabila putusan dapat dilaksanakan. Dengan demikian, dalam makalah
singkat ini akan mengemukakan sedikit pembahasan mengenai pelaksanaan eksekusi putusan
hakim.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah tersebut, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa
pengertian eksekusi putusan hakim?
2. Bagaimana
tata cara seorang hakim dalam membuat sebuah keputusan?
3. Apa
saja syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hakim dalam mumbuat sebuah putusan?
C.
Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dari makalah ini
yaitu untuk mengetahui:
1. Pengertian
eksekusi putusan hakim.
2. Tatacara
seorang hakim dalam membuat sebuah keputusan.
3. Syarat-syarat
yang harus dipenuhi hakim dalam membuat keputusan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Eksekusi
Putusan Hakim
1.
Pengertian
Eksekusi
Kata Executie diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia
dengan ditulis menurut bunyi dari kata itu sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu
”Eksekusi”. Kata ini sudah populer serta diterima oleh insan hukum di Indonesia,
sehingga untuk selanjutnya dalam makalah ini akan mengunakan kata Eksekusi untuk pengertian pelaksanaan putusan dalam perkara
perdata.
Pengertian eksekusi sama
dengan pengertian menjalankan putusan (ten uitvoer legging van vonnissen),
yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum,
apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya
secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah tindakan
yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara.[2]
Pengertian Eksekusi merupakan
pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah
dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan. Dalam Pasal
195 HIR/Pasal 207 RBG dikatakan: Hal menjalankan Putusan Pengadilan Negeri dalam
perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah atas perintah
dan tugas Pimpinan ketua Pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara
itu menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal HIR. Selanjutnya dalam Pasal 196
HIR/Pasal 208 RBG dikatakan: Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk
memenuhi amar Putusan Pengadilan dengan damai maka pihak yang menang dalam perkara
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjalankan Putusan Pengadilan
itu. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang kalah dalam hukum serta
melakukan teguran (aanmaning) agar pihak yang kalah dalam perkara memenuhi
amar putusan pengadilan dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari. Dengan demikian,
pengertian eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan Pengadilan Negeri terhadap
pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam perkara menjalankan
Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya.[3] Eksekusi
dapat dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila terlebih dahulu ada permohonan
dari pihak yang menang dalam perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri agar Putusan
Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Sebelum menjalankan eksekusi Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap maka Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran (aanmaning) kepada
pihak yang kalah dalam perkara agardalam waktu 8 (delapan) hari sesudah Ketua Pengadilan
Negeri melakukan teguran (aanmaning) maka pihak yang kalah dalam perkara
harus mematuhi Amar Putusan Pengadilan dan apabila telah lewat 8 (delapan) hari
ternyata pihak yang kalah dalam perkara tidak mau melaksanakan Putusan Pengadilan
tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintah Panitera/Jurusita Pengadilan
Negeri untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek tanah terperkara dan kemudian
dapat meminta bantuan alat-alat negara/kepolisian untuk membantu pengamanan dalam
hal pengosongan yang dilakukan atas objek tanah terperkara.
2.
Dasar
Hukum Eksekusi
Dasar hukum eksekusi Sebagai
realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang kalah dalam perkara, maka masalah
eksekusi telah diatur dalam berbagai ketentuaan :
a. Pasal
195 - Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR/Pasal 206 - Pasal 240 R.Bg dan Pasal 258 R.Bg
(tentang tata cara eksekusi secara umum);
b. Pasal
225 HIR/Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum tergugat untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu).
c. Sedangkan
Pasal 209 - Pasal 223 HIR/Pasal 242 - Pasal 257 R.Bg, yang mengatur tentang sandera
(gijzeling) tidak lagi di berlakukan secara efektif.
d. Pasal
180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001 (tentang
pelaksanaan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu serta merta
(Uitvoerbaar bij voorraad dan provisi).
e. Pasal
1033 Rv (tentang eksekusi riil).
f. Pasal
54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 (tentang pelaksanaan putusan pengadilan).
B.
Azas-azas Eksekusi
1.
Putusan hakim yang akan di eksekusi haruslah
telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).
Maksudnya, pada putusan
hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti antara para pihak yang harus
ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak ada lagi upaya hukum (Rachtsmiddel),
yakni: 3
a. Putusan
pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding;
b. Putusan
Makamah Agung (kasasi/PK).
c. Putusan
verstek yang tidak diajukan verzet.
Sebagai pengecualian dari
asas di atas adalah:
a. Putusan
serta merta (Uitvoerbaar bii voorraad).
b. Putusan
provisi.
c. Putusan
perdamaian.
d. Grose
akta hipotik/pengakuan hutang.
2.
Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah
bersifat menghukum (condemnatoir).
Maksudnya, pada putusan
yang bersifat menghukum adalah terwujud dari adanya perkara yang berbentuk yurisdictio
contentiosa (bukan yurisdictio voluntaria), dengan bercirikan, bahwa
perkara bersifat sengketa (bersifat partai) dimana ada pengugat dan ada tergugat,
proses pemeriksaannya secara berlawanan antara penggugat dan tergugat (Contradictoir).
Misalnya amar putusan yang berbunyi :
a. Menghukum
atau memerintahkan menyerahkan sesuatu barang.
b. Menghukum
atau memerintahkan pengosongan sebidang
tanah atau rumah.
c. Menghukum
atau memerintahkan melakukan suatu perbuatan tertentu.
d. Menghukum
atau memerintahkan penghentian suatu perbuatan atau keadaan.
e. Menghukum
atau memerintahkan melakukan pembayaran sejumlah uang.[4]
3. Putusan
hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela.
Maksudnya, bahwa tergugat
sebagai pihak yang kalah dalam perkara secara nyata tidak bersedia melaksanakan
amar putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabila tergugat bersedia melaksanakan
amar putusan secara sukarela, maka dengan sendirinya tindakan eksekusi sudah tidak
diperlukan lagi.
4. Kewenangan
eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama [Pasal 195 Ayat (1) HIR/Pasal
206 Ayat (1) HIR R.Bg].
Maksudnya, bahwa pengadilan
tingkat banding dengan Mahkamah Agung tidaklah mempunyai kewenangan untuk itu, sekaligus
terhadap putusannya sendiri, sehingga kewenangan tersebut berada pada ketua pengadilan
tingkat pertama (pengadilan agama/pengadilan negeri) yang bersangkutan dari sejak
awal hingga akhir (dari aanmaning hingga penyerahan barang kepada penggugat).
5. Eksekusi
harus sesuai dengan amar putusan.
Maksudnya, apa yang dibunyikan
oleh amar putusan, itulah yang akan dieksekusi. Jadi tidak boleh menyimpang dari
amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi diantaranya ditentukan pula
oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang didasari pertimbangan hukum sebagai
argumentasi hakim.
C. Jenis-jenis
Eksekusi
1. Jenis
Eksekusi
a. Dengan
Sukarela.
Artinya pihak yang dikalahkan
melaksanakan sendiri putusan Pengadilan tanpa ada paksaan dari pihak lain
b. Dengan
Paksaan.
Yaitu menjalankan putusan
Pengadilan, yang merupakan suatu tindakan
hukum dan dilakukan secara paksa terhadap
pihak yang kalah disebabkan ia tidak mau menjalankan putusan secara suka rela.
2.
Macam Ekekusi
Pada dasarnya ada 2 bentuk
eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum
dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil,
sehingga eksekusi semacam ini disebut eksekusi riil, dan melakukan pembayaran sejumlah
uang. Eksekusi seperti ini selalu disebut eksekusi pembayaran uang.[5] Demikian
juga dalam praktek peradilan agama dikenal 2 macam eksekusi, yaitu eksekusi riil
atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal 218 ayat (2) R.Bg,
dan Pasal 1033 Rv, yang meliputi penyerahan pengosongan, pembongkaran, pembagian,
dan melakukan sesuatu. Dan eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau
executorial verkoop, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR/Pasal 215 R.Bg.[6]
a. Eksekusi
Riil.
Eksekusi riil adalah eksekusi
yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu, misalnya menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar,
menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat
dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa
melalui proses pelelangan.
b. Eksekusi
Pembayaran Sejumlah Uang.
Eksekusi pembayaran sejumlah
uang adalah eksekusi yang mengharuskan kepada pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran
sejumlah uang (Pasal 196 HIR/208 R.Bg). Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi
riil dimana pada eksekusi bentuk kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung
sesuai dengan amar putusan seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui
proses pelelangan terlebih dahulu, karena yang akan dieksekusi adalah sesuatu yang
bernilai uang.
D.
Tatacara
Seorang Hakim Membuat Keputusan
Pelaksanaan putusan/eksekusi
adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat
dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Putusan yang sudah
berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya
hukum verzet, banding, dan kasasi.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:
1. Ketentuan
tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan.
2. Pada
setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusan-putusannya
Pelaksanaan putusan hakim
dapat Secara sukarela, atau Secara paksa dengan menggunakan alat Negara. Apabila
pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela. Semua keputusan pengadilan
mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa
oleh alat-alat Negara. Keputusan pengadilan bersifat eksekutorial adalah karena
pada bagian kepala keputusannya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Putusan yang dapat dieksekusi
adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu :
1.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,
kecuali dalam hal:
a. Pelaksanaan
putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu
b. Pelaksanaan
putusan provisionil
c. Pelaksanaan
Akta Perdamaian
d. Pelaksanaan
(eksekusi) Grose akta
2.
Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum
secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh Ketua Pengadilan
Agama
3.
Putusan hakim yang bersifat
kondemnatoir, Putusan yang bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan
eksekusi. Putusan kondemnatoir tidak mungkin berdiri sendiri, dan merupakan bagian
dari putusan deklaratoir, karena sebelum bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan
suatu keadaan hukum
4.
Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah
pimpinan Ketua Pengadilan Agama.
Disamping itu, terdapat
beberapa macam pelaksanaan putusan, yaitu:
1. Putusan
yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal
196 HIR, pasal 208 R.Bg
2. Putusan
yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur
dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg
3. Putusan
yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap. Putusan ini
disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.
4. Eskekusi
riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat (1) HIR,
pasal 218 ayat (2) R.Bg
Pasal 196 HIR/207 R.Bg mengatur
tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan dari tindakan tergugat/enggan untuk
secara suka rela melaksanakan isi putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga
pihak penggugat sebagai pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan
atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama agar putusan dapat dijalankan.
Pasal 225 HIR/259 R.Bg berkaitan
dengan pelaksanaan putusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang tidak ditaati,
sehingga dapat dimintakan pemenuhan tersebut dinilai dalam bentuk uang. Maksud pelaksanaan
putusan yang diatur dalam ketentuan ini adalah untuk menguangkan bagian tertentu
dari harta kekayaan pihak tergugat sebagai pihak yang dikalahkan dengan tujuan guna
memenuhi isi putusan sebagai termuat dalam amarnya, yang telah memenangkan pihak
penggugat sebagai pemohon eksekusi. Yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan
pasal 1033 Rv. adalah dilaksanakan putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda
tidak bergerak. Dalam praktek di pengadilan, tergugat yang dihukum untuk mengosongkan
benda tidak bergerak tersebut setelah terlebih dahulu ditegur, untuk mengosongkan
dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat selaku pihak yang
dimenangkan. Apabila tidak bersedia melaksanakan perintah tersebut secara sukarela,
maka Ketua Pengadilan dengan penetapan akan memerintahkan Panitera atau Juru Sita,
kalau perlu dengan bantuan alat negara (Polisi/ABRI) dengan paksa melakukan pengosongan
terhadap tergugat dan keluarga serta segenap penghuni yang ada, ataupun yang mendapat
hak dari padanya, dengan menyerahkannya kepada Penggugat selaku pemohon
eksekusi.
Adapun mengenai cara melakukan
penjualan barang-barang yang disita dalam hal pelaksanaan eksekusi riil dalam bentuk
penjualan lelang diatur dalam pasal 200 HIR. Ketentuan pokoknya antaralainberisi:
1.
Penjualan dilakukan dengan pertolongan Kantor
Lelang;
2.
Urutan-urutan barang yang akan dilelang ditunjuk
oleh yang terkena lelang jika ia mau
3.
Jika jumlah yang harus dibayar menurut putusan
da biaya pelaksanaan putusan dianggap telah tercapai, maka pelelangan segera dihentikan.
Baran-barang selebihnya segera dikembalikan kepada yang terkena lelang;
4.
Sebelum pelelangan, terlebih dahulu harus
diumumkan menurut kebiasaan setempat dan baru dapat dilaksanakan 8 hari setelah
penyitaan;
5.
Jika yang dilelang terasuk benda yang tidak
berberak maka harus diumumkan dalam dua kali dengan selang waktu 15 hari;
6.
Jika yang dilelang menyangkut benda tidak
bergerak lebih dari Rp.1000.- harus diumumkan satu kali dalam surat kabar yang terbit
di kota itu paling lambat 14 hari sebelum pelelangan;
7.
Jika harga lelang telah dibayar, kepada pembeli
diberikan kwitansi tanda lunas dan selain itu pula hak atas barang tidak bergerak
tersebut beralih kepada pembeli;
8.
Orang yang terkena lelang dan keluarganya
serta sanak saudaranya harus menyerahkan barang tidak bergerak itu secara kosong
kepada pembeli.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Eksekusi Eksekusi
adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena
pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan
Pengadilan.
2 bentuk eksekusi
ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum
dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan
riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut eksekusi riil, dan melakukan
pembayaran sejumlah uang.
B.
Saran
Adapun makalah kami ini
adalah makalah hasil pemikiran sendiri, yang didasari dari refrensi-refrensi
yang kami dapatkan baik dari buku diperpustakaan maupun pengetahuan dari
online. Jika terdapat kesalahan dan kekurangan dari makalah kami ini, kami
berharap kritik/saran dan masukan dari pembaca, guna untuk mewujudkan perubahan
kelebih baik di kemudian harinya. Terimakasih..
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Abdul Manan,
2005. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta:
Kencana.
M. Yahya Harahap, 2010. Hukum Acara Perdata.
Jakarta: Sinar Grafita.
Moh. Taufik Makaro, 2004. Pokok-Pokok Hukum
Acara Perdata. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
R. Subekti,
1977. Hukum Acara Perdata, Bandung: Binacipta.
________, 1989. Hukum
Acara Perdata Cet. Ke 3. Bandung:
Binacipta.
Sudikno Mertokusumo, 1998. Hukum Acara Perdata
Indonesia. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
https://ilmurahmad.blogspot.co.id/2017/12/makalah-eksekusi-putusan-hakim.html
[1] Sebagaimana ditentukan dalam
Undang – undang No. 4 Tahun 2004, Tentang kekuasaan Kehakiman, Pasal 19.
[2] M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata, (Jakarta. PT. Gramedia, 1988),
hal. 5.
[3] M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata, (Jakarta. PT. Gramedia, 1988),
hal. 5.
[4] M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata, (Jakarta. PT. Gramedia, 1988),
hal. 13.
[5] M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata, (Jakarta. PT. Gramedia, 1988),
hal. 20
[6] Abdul Manan, Aspek-Aspek
Pengubah Hukum, (Jakarta:Kencana, 2005), hal. 316