TA’ARUDH AL-ADILLAH
A.
Pengertian Ta’arudh Al-Adillah
Ta’arudh menurut arti bahasa adalah
pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara kata Al-Adillah adalah
bentuk Plural dari kata dalil, yang berarti Argumen, alasan dan dalil. Secara
Istilah Ta’arudh al- Adillah diartikan sebagai perlawanan antara
kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil
yang lain. Sehingga dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut
tidak mungkin dipakai pada satu waktu. Perlawanan itu dapat terjadi antara Ayat
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang lain, Hadits Mutawatir dengan Hadits Mutawatir
yang lain, Hadits Ahad dengan Hadits Ahad yang lain. Sebaliknya perlawanan
tersebut tidak akan terjadi apabila kedua dalil tersebut berbeda kekuatannya,
kaerna pada hakikaktnya dalil yang lebih kuatlah yang
diamalkan.
Diantara beberapa definisi Ta’arudh
al- Adillah menurut beberapa ahli ushul fiqh diantaranya yang dikemukakan
oleh Amir Syarifudin mena’rifkan ta’arudh dengan
berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu diantara dua dalil itu meniadakan
hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya.
Abdul Wahab Khalaf mendifinisikan ta’arudh
secara singkat, yaitu kontradiksi antara dua nash atau dalil yang sama
kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut memberi titik penekanan yang
berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud itu merupakan pembahasan
dua dalil yang saling bertentangan.
B. Bentuk-bentuk Dalil yang
Kontradiktif
Pengertian dalil yang kontradiktif
mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam
Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana
rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang
qath’i dan juga zhanni.
Para ulama berbeda pendapat mengenai
bentuk dalil apa saja yang memungkinkan adanya kontra antara satu dengan yang
lain. Perbedaan itu antara lain:
- Menurut
jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak
mungkin terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qath’i
mengharuskan adanya madlul (hukum). Bila dua dalil yang qath’i
berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya hukum yang saling
berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling
meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama
berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling
meniadakan
- Segolongan
ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni sebagaimana
tidak boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i,
dengan tujuan untuk menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum
syar’i. sedangkan sebagian ulama yang lain membolehkan terjadinya
perbenturan dua dalil yang zhanni karena tidak ada halangan bagi
perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak qath’i, seperti
yang terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil yang
bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini mungkin
saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari
salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu
dari dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.
Kedua golongan yang berbeda pendapat
itu semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya dalam
pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada
benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua
dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya.
Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka
yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan
demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qath’i dan nash
yang zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS.
Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:
“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat
untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS.
Al-Baqarah: 180)
Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi
dengan ayat sebagai berikut:
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang anak
perempuan.”
(QS. An-Nisa’: 11)
Ayat pertama mewajibkan kepada yang
telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta pusakanya kepada orang
tua dan sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat kedua menetapkan masing-masing
orang tua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat
Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi
secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkompromikan keduanya, yaitu jika
yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 180 itu kedua orang tua dan sanak
kerabat, maka itu merupakan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat
warisan oleh suatu penghalang seperti perbedaan agama
C. Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah
Apabila ditemukan dua dalil yang
kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan
keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan
apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak
menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang
lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian
dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang
dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik
daripada meninggalkan keduanya“
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan
tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai
berikut:
1. Mengamalkan
dua dalil yang kontradiksi
2. Mengamalkan
satu diantara dua dalil yang kontradiksi
3. Meninggalkan
dua dalil yang kontradiksi
Adapun pembahasan dari
tahapan-tahapan di atas adalah sebagai berikut:
a.
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa
al-Taufiq)
Cara mengamalkannya dapat ditempuh dengan cara:
ü Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah
mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau
menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga
tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.
Contoh: firman Allah QS. Al-Baqarah: 240
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan
istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk bersenang –senang
selama satu tahun.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan
istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh
hari.”
Kedua ayat di atas secara lahir
memang berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun,
sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Usaha kompromi dalam kasus ini
adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu
tahun pada ayat pertama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan
suaminya selama satu tahun (jika tidak menikah lagi). Sedangkan masa iddah
selama empat bulan sepuluh hari dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai
batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa itu.
ü Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara
zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu
diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil
yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan
dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan
ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah: 228 yang artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu)
tiga kali sesuci.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah
mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat
di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan
istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai
melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis
dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi
istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis
ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.
b. Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang
berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan
tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis, maka kedua dalil tersebut
tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat
diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:
Nasakh. Maksudnya apabila dapat diketahui
secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu
turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan
turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk
seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Contoh:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah.”
Keterangan waktu yang menjelaskan
berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan dan
tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa
yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini
menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di
atas, dan juga hadits di bawah ini yang artinya:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban
lebih dari keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah.”
Tarjih. Maksudnya adalah apabila diantara
dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun
atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun
ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih
kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang
menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang
wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang
mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang
berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun
kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh
dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan,
sedangkan yang lain tidak diamalkan.
c. Meninggalkan
dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang
dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas,
maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut.
Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk,
yaitu:
·
Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut
sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu
diantara keduanya.
·
Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan
mencari dalil yang lain untuk diamalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus.
Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif. 2004,
Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2001, Beirut: Dra
al-Fikr, Cet.ke-2Jakarta: Zikrul Hakim,
Khalaf,
Abdul Wahab, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy,
Bandung: Gema Risalah Press
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh Jilid 1,1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Yahya,Mukhtar.,dan Fatchurrahman, 1993, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami.Bandung :Al-Ma’rif