DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR
ISI...................................................................................................... ii
BAB
I. PENDAHULUAN................................................................................. 1
A.
Latar Belakang............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
C.
Tujuan Pembahasan..................................................................................... 2
BAB
II. PEMBAHASAN.................................................................................. 3
A.
Struktur Angkatan Kerja
Menurut Pendidikan............................................ 3
B.
Lapangan Kerja Menurut
Pendidikan.......................................................... 5
C.
Analisis Tenaga Kerja Pendidikan .............................................................. 7
D.
Implementasi Tenaga
Kerja Pendidikan...................................................... 11
BAB
III. PENUTUP.......................................................................................... 15
A.
Kesimpulan.................................................................................................. 15
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................ 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan ketenagakerjaan selalu mendapat
perhatian yang serius dari berbagai kalangan, baik pemerintah, swasta maupun
dari masyarakat. Kompleksitas permasalahan ketenagakerjaan ini dapat dipandang
sebagai suatu upaya masing-masing individu untuk memperoleh dan mempertahankan
hak-hak kehidupan yang melekat pada manusia agar memenuhi kebutuhan demi
kelangsungan hidup.
Tujuan pembangunan nasional, yaitu
terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan dan
berdaya saing maju dan sejahtera dalam wadah negara kesatuan republik Indonesia
yang didukung oleh manusia yang sehat, mandiri dan bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa.
Dari tujuan tersebut tercermin bahwa
sebagai titik sentral pembangunan adalah pemberdayaan sumber daya manusia
termasuk tenaga kerja, baik sebagai sasaran pembangunan maupun sebagai pelaku
pembangunan. Dengan demikian, pembangunan ketenagakerjaan merupakan salah satu
aspek pendukung keberhasilan pembangunan nasional. Di sisi lain, terdapat
beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan nasional
tersebut, khususnya dibidang dibidang ketenagakerjaan, sehingga diperlukan
kebijakan dan upaya dalam mengatasinya. Sehubungan hal tersebut pengembangan
SDM di Indonesia dilakukan melalui tiga jalur utama, yaitu pendidikan,
pelatihan dan pengembangan karir di tempat kerja.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan, yang menjadi sudut permasalahan dalam makalah ini yaitu:
1.
Bagaimana struktur
angkatan kerja menurut pendidikan?
2.
Bagaimana lapangan kerja
menurut pendidikan?
3.
Bagaimana analisis
tenaga kerja pendidikan?
4.
Bagaimana implementasi
tenaga kerja pendidikan?
C.
Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dari makalah kami
yaitu untuk menjawab;
1.
Bagaimana struktur angkatan
kerja menurut pendidikan?
2.
Bagaimana lapangan kerja
menurut pendidikan?
3.
Bagaimana analisis
tenaga kerja pendidikan?
4.
Bagaimana implementasi
tenaga kerja pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Struktur
Angkatan Kerja Menurut Pendidikan
Membicarakan angkatan kerja,
sebenarnya berhubungan erat dengan jumlah penduduk. Ukuran besar-kecilnya
angkatan kerja sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah penduduk yang sudah
memasuki usia kerja. Definisi angkatan kerja adalah penduduk yang sudah
memasuki usia kerja, baik yang sudah bekerja, belum bekerja, atau sedang
mencari pekerjaan. Menurut ketentuan pemerintah Indonesia, penduduk yang sudah
memasuki usia kerja adalah mereka yang berusia minimal 15 tahun sampai 65
tahun. Namun, tidak semua penduduk yang memasuki usia tadi disebut angkatan
kerja. Sebab penduduk yang tidak aktif dalam kegiatan ekonomi tidak termasuk
dalam kelompok angkatan kerja, seperti ibu rumah tangga, pelajar, dan
mahasiswa, serta penerima pendapatan (pensiunan).
Pembagian
usia angkatan kerja dan bukan angkatan kerja
Selain jumlah penduduk, pertumbuhan angkatan kerja dipengaruhi pula oleh
struktur penduduk berdasarkan: jenis kelamin, usia penduduk, dan tingkat
pendidikan. Makin banyak komposisi jumlah penduduk laki-laki dalam suatu negara,
semakin tinggi pula angkatan kerja di negara itu.
1.
Struktur Tenaga Kerja 1980-2005
Berdasarkan data yang ada, dari keseluruhan tenaga kerja, pada tahun
1980, struktur tenaga kerja usia muda sebanyak 24,27%, tenaga kerja usia prima
sebanyak 63,73% , dan tenaga kerja usia tua sebanyak 12%. Pada tahun 2005 atau
25 tahun berikutnya mengalami perubahan. Dari keseluruhan tenaga kerja yang
ada, tenaga kerja usia muda sebanyak 15,81%, tenaga kerja usia prima sebanyak
71,11, dan tenaga kerja usia tua sebanyak 13,08%.
Perubahan struktur tenaga kerja menurut pendidikan pun mengalami
perubahan selama 25 tahun terakhir. Struktur tenaga kerja berdasarkan
pendidikan dipilih sebagai berikut, berpendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah
atau ≤ SD dan berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) ke atas.
Pada tahun 1980, tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah mendominasi
pekerjaan baik secara keseluruhan maupun per sektor. Pada tahun 1980, secara
keseluruhan struktur tenaga kerja berpendidikan ≤ SD sebanyak 88,34% dan
sisanya adalah tenaga kerja berpendidikan SLTP ke atas atau 11, 64%. Pada tahun
2005 struktur tenaga kerja berpendidikan ≤ SD menjadi 55,40% tenaga kerja dan
tenaga kerja berpendidikan SLTP ke atas sebanyak 44,60% tenaga kerja. Berdasarkan
data tersebut, pendidikan tenaga kerja terus mengalami peningkatan dan
perbaikan.
2.
Struktur Tenaga Kerja 2011-2015
Penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2013 masih didominasi oleh
penduduk bekerja berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah 54,6 juta orang (47,90
%) dan sekolah menengah pertama sebanyak 20,3 juta orang (17,80 %). Penduduk
bekerja berpendidikan tinggi hanya sebanyak 11,2 juta orang mencakup 3,2 juta
orang (2,82 %) berpendidikan diploma dan sebanyak 8,0 juta orang (6,96 %)
berpendidikan universitas. Bekerja berpendidikan rendah (SMP ke bawah) dan
meningkatnya penduduk bekerja berpendidikan tinggi (diploma dan universitas).
Dalam setahun terakhir, penduduk bekerja berpendidikan rendah menurun
dari 75,8 juta orang (67,20 %) pada Februari 2014 menjadi 74,9 juta orang
(65,70 %) pada Februari 2015. Sementara, penduduk bekerja berpendidikan tinggi
meningkat dari 10,4 juta orang (9,19 %) pada Februari 2014 menjadi 11,2 juta orang
(9,78 %) pada Februari 2015.
B.
Lapangan
Kerja Menurut Pendidikan
Terjadi perubahan yang cukup mendasar pada tenaga kerja Indonesia apabila
dilihat dari segi kualitas. Penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih sangat
tergolong rendah, sebanyak 32% dari 2.381.841 jumlah lowongan kerja yang
terdaftar ternyata tidak dapat terisi oleh para pencari kerja. Hal ini dipicu
oleh rendahnya tingkat pendidikan serta tidak sesuainya keahlian dan
ketrampilan yang dimiliki pencari kerja dengan kualifikasi yang dibutuhkan
perusahaan.
Sampai dengan Agustus 2011, jumlah tenaga kerja berpendidikan rendah
tercatat 54,1 juta orang. Pekerja dengan kualifikasi pendidikan tinggi baru
sebesar 8,8%. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya
adalah sulitnya akses pendidikan menengah dan tinggi karena mahalnya biaya
pendidikan.
Tabel dibawah berikut ini memperlihatkan distribusi pekerja berdasarkan
tingkat pendidikan formal :
Tabel 1.
Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Indonesia 2000 - 2010
TINGKAT PENDIDIKAN TENAGA KERJA
INDONESIA TAHUN 2000 – 2010
|
|||||||||||
Pendidikan
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
Kurang Terdidik
|
77,7%
|
77,8%
|
77,7%
|
76,8%
|
76,3%
|
75,8%
|
75,6%
|
74,9%
|
73,5%
|
71,1%
|
69,4%
|
≥
Tamat SD
|
62,1%
|
61,2%
|
60,9%
|
56,7%
|
56,5%
|
56,2%
|
55,6%
|
54,6%
|
54,5%
|
52,6%
|
50,4%
|
SLTP
|
15,6%
|
16,6%
|
16,7%
|
20,1%
|
19,8%
|
19,5%
|
20,0%
|
20,3%
|
19,0%
|
18,5%
|
19,1%
|
Terdidik
|
22,3%
|
22,2%
|
22,3%
|
23,2%
|
23,7%
|
24,2%
|
24,4%
|
25,1%
|
26,5%
|
28,9%
|
30,6%
|
SMU/SMK
|
17,9%
|
17,4%
|
17,6%
|
18,6%
|
18,4%
|
18,8%
|
18,8%
|
19,1%
|
20,2%
|
21,8%
|
22,9%
|
Akademi/Dipl.
|
2,2%
|
2,2%
|
2,1%
|
1,9%
|
2,2%
|
2,3%
|
2,3%
|
2,5%
|
2,6%
|
2,7%
|
2,8%
|
Universitas
|
2,2%
|
2,6%
|
2,6%
|
2,7%
|
3,0%
|
3,1%
|
3,3%
|
3,6%
|
3,7%
|
4,4%
|
4,8%
|
Keterangan: Sumber
Data BPS (Diolah)
|
Dalam tabel ini, tenaga kerja yang berpendidikan sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLTP) atau lebih rendah dikelompokan sebagai angkatan kerja “kurang
terdidik”, sementara tenaga kerja yang sekurang-kurangnya berhasil
menyelesaikan sekolah menengah umum atau kejuruan (SMU/SMK) dikategorikan
sebagai angkatan kerja "terdidik".
Berdasarkan kategori ini, tampak bahwa proporsi tenaga kerja terdidik
terus meningkat dari 22,3% pada tahun 2000 menjadi 30,6% pada tahun 2010. Lebih
jauh tabel diatas menunjukkan bahwa kenaikan ini terjadi baik pada mereka yang
tamat SMU/SMK maupun tamatan perguruan tinggi (termasuk program diploma).
Sebaliknya, penurunan proporsi tenaga kerja kurang terdidik didorong oleh
penurunan proporsi mereka yang hanya tamat sekolah dasar (SD) atau lebih
rendah, sementara proporsi mereka yang hanya tamat SLTP cenderung terus
meningkat. Situasi ini merupakan dampak dari kebijakan pemerintah di bidang
pendidikan dasar dalam bentuk pembebasan biaya untuk tingkat sekolah dasar (SD)
dan sekolah menengah pertama (SLTP).
C.
Analisis
Tenaga Kerja Pendidikan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2010 menyebutkan bahwa angka
melek huruf perempuan berusia diatas 15 tahun pada tahun 2008 tercatat sebanyak
89,10 persen, dan di tahun 2009 berkurang menjadi 86,68 persen.
Bandingkan dengan persentasi melek huruf penduduk laki-laki usia 15 tahun
keatas di tahun 2008 yang mencapai 95,38 persen dan terus meningkat di tahun
2009 menjadi 95,65 persen.
Akibat rendahnya akses tersebut, banyak perempuan yang terjerat buta
aksara, hingga menyebabkan rendahnya daya saing hidup. BPS juga merilis data
pengangguran terbuka perempuan usia kerja (usia diatas 15 tahun) dimana pada
tahun 2009 berjumlah 3.676.056 jiwa, kemudian meningkat pada tahun 2010 menjadi
sebesar 3.718.366 orang.
Di Provinsi Aceh, persentase Angka Melek Huruf pada tahun 2008 adalah
97,71 persen bagi Laki-laki dan 94,28 persen di kalangan perempuan.
Peningkatannya tidak banyak ketika di tahun 2009 angka tersebut berubah menjadi
97,95 persen laki-laki dan 94,99 persen perempuan. Kesempatan sekolah pun lebih
berpihak kepada laki-laki dimana pada tahun 2008, perempuan rata-rata hanya
bersekolah 7,9 tahun sedangkan laki-laki mencapai 8,6 tahun. Pada tahun 2009,
laki-laki dapat menyelesaikan pendidikan wajib 9 tahun sedangkan rata-rata
wanita hanya bersekolah 8,3 tahun.
Di Aceh, Kondisi pendidikan penduduk telah digambarkan
dengan cukup komprehensif dalam publikasi Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh.
Penduduk Aceh saat ini berjumlah 4.363.477 jiwa dengan rasio jenis kelamin
sebesar 99. Pada tahun 2009, jumlah penduduk laki-laki dan perempuan sebanyak
2.171.388 dan 2.192.089. Dengan begitu jumlah perempuan sedikit lebih banyak
daripada laki-laki. Hal ini terutama terlihat di kabupaten Pidie, Pidie Jaya
dan Bieruen. Kabupaten Pidie Jaya dan Bieruen adalah dua kabupaten berpopulasi
terbesar di Aceh. Proporsi ini tampak agak berbeda di kota Banda Aceh,
kabupaten Aceh Jaya dan kabupaten Simeuleu dimana rasio jenis kelamin
masing-masing 112, 108 dan 107. Artinya, di kabupaten/kota tersebut terdapat
lebih banyak penduduk laki-laki daripada penduduk perempuan. Dari populasi
diatas sejumlah 567.284 penduduk masih berusia sekolah dasar, yaitu 13% dari keseluruhan
populasi. Sedangkan penduduk usia pendidikan menengah (13-15 tahun) berjumlah
280.401 orang, usia pendidikan atas (16-18 tahun) ada 273.770 jiwa dan usia
19-24 tahun sebanyak 520.695 jiwa.
Penyebaran penduduk usia sekolah di Aceh tidak merata. Pada
tahun 2009, Kabupaten dengan penduduk usia sekolah terbanyak adalah kabupaten
Aceh Utara dengan jumlah sebagai berikut:
Usia
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Total
|
7-12
|
37.449
|
36.494
|
73.943
|
13-15
|
18.533
|
18.036
|
36.569
|
16-18
|
18.210
|
18.271
|
28.481
|
19-24
|
32.846
|
34.289
|
67.135
|
Penyebaran pendidikan di Aceh
dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:
No
|
Data
|
Tahun
|
|
2010
|
2011
|
||
A.
|
Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidayah (SD/MI)
|
||
Jumlah penduduk Usia 7-12
Tahun (orang)
|
570.821
|
567.284
|
|
Jumlah SD/MI/SDLB (buah)
|
3.824
|
3.843
|
|
Jumlah siswa SD/MI/SDLB
(orang)
|
640.086
|
629.179
|
|
Jumlah guru SD/MI/SDLB (orang)
|
39.883
|
60.999
|
|
Jumlah SD/MI/SDLB yang
terakreditasi (buah)
|
2.623
|
3.014
|
|
B.
|
Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTS)
|
||
Jumlah penduduk Usia 13-15
tahun (orang)
|
288.097
|
280.401
|
|
Jumlah siswa SMP/MTS/SMPLB
(buah)
|
1.073
|
1.211
|
|
Jumlah siswa SMP/MTS/SMPLB
(orang)
|
269.962
|
269.912
|
|
Jumlah guru SMP/MTS/SMPLB
(orang)
|
21.667
|
28.972
|
|
Jumlah SMP/MTS/SMPLB yang
terakreditasi (buah)
|
660
|
845
|
|
C.
|
Sekolah Menengah Atas/ Madrasah
Aliyah (SMA/ MA)
|
||
Jumlah penduduk Usia 16-18
tahun (orang)
|
287.957
|
273.770
|
|
Jumlah siswa SMA/MA/SMALB
(buah)
|
565
|
588
|
|
Jumlah siswa SMA/MA/SMALB
(orang)
|
181.789
|
183.036
|
|
Jumlah guru SMA/MA/SMALB
(orang)
|
17.259
|
17.996
|
|
Jumlah SMA/MA/SMALB yang
terakreditasi (buah)
|
447
|
495
|
|
D.
|
Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK)
|
||
Jumlah siswa SMK (buah)
|
111
|
129
|
|
Jumlah siswa SMK (orang)
|
30.955
|
36.625
|
|
Jumlah guru SMK (orang)
|
2.824
|
2.911
|
|
Jumlah SMK yang terakreditasi
(buah)
|
63
|
89
|
Bila kita mencermati kondisi pendidikan di Provinsi Aceh
dari 3 indikator pencapaian target MDGs 2, maka ditemukan bahwa:
Angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar di Aceh
mencapai 99,07 persen, yang berarti masih ada 0,03 persen anak usia 7-12 tahun
yang belum/tidak pernah bersekolah dan yang tidak bersekolah lagi. Angka ini
merupakan perhitungan BPS Provinsi Aceh yang sedikit berbeda dengan data yang
dirilis Kementrian Pendidikan Nasional, dimana disebutkan APM penduduk usia
7-12 tahun di SD/MI di Aceh tahun 2009 adalah sebesar 89,39 persen. Terlepas
dari benar atau salahnya, Dinas Pendidikan Provinsi Aceh memperkirakan APM
penduduk usia 7-12 tahun di SD/MI di Aceh 2009 mendekati 95 persen.
Dalam laporan BPS pula diperlihatkan presentase jumlah
penduduk laki-laki usia 7-12 tahun yang tidak/belum pernah sekolah
sebesar 0,33 persen, yang masih sekolah sebesar 98,83 persen dan yang tidak
lagi bersekolah tercatat 0,84 persen di tahun 2009. Sedangkan prosentasi
penduduk perempuan usia 7-12 tahun yang tidak/belum pernah sekolah pada tahun
2009 adalah 0,39 persen, masih sekolah 99,35 persen dan yang tidak lagi
bersekolah sebanyak 0,26 persen.
Dinas Pendidikan Provinsi Aceh menyatakan bahwa rata-rata
angka putus sekolah di Aceh berada dibawah 1 persen pertahun. Pada tahun 2010,
rata-rata DO di pendidikan dasar berada dibawah 1 persen. Jumlah penduduk usia
7-12 tahun yang tidak lagi bersekolah pada tahun 2009 mencapai 0,57 persen.
Angka ini tampak meningkat dari tahun 2008 yang hanya sebesar 0,41 persen.
Namun, persentasi drop out tahun 2009 merupakan sebuah peningkatan
mengingat tahun 2007 angka putus sekolah mencapai 0,62 persen. Angka putus
sekolah dipengaruhi jumlah penduduk perempuan yang tidak lagi bersekolah. Pada
tahun 2007 & 2009, jumlah penduduk laki-laki usia 7-12 tahun lebih banyak
yang putus sekolah dibandingkan jumlah penduduk perempuan usia 7-12 tahun.
Sedangkan pada tahun 2008, penduduk perempuan usia 7-12 tahun lebih tinggi
prosentasi putus sekolahnya dibandingkan jumlah penduduk laki-laki usia 7-12
tahun yang tidak bersekolah lagi, yaitu 0,47 persen dari 0,34 persen. Angka
melek huruf penduduk usia 15-24 tahun, laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan data BPS Aceh, Angka Melek huruf Usia 15-24
Tahun di Aceh pada tahun 2009 adalah sebesar 99,79 persen. Angka ini dijelaskan
pula menurut tempat tinggalnya. Pada tahun 2009 terdapat 0,002 persen
penduduk berusia 15-24 tahun yang tinggal perkotaan dan 0,30 persen
penduduk perdesaan yang masih buta huruf. Namun, data BPS tidak menyebutkan
prosentase angka melek huruf antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan.
D.
Implementasi
Tenaga Kerja Pendidikan
Sejak amandemen UUD 1945, asas otonomi daerah mendapatkan posisinya dalam
Pasal 18 tentang pemerintah daerah dan dikembangkannya sistem pemerintahan yang
desentralistis melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Lima hal pokok yang menjadi kewenangan Pusat Menyusul diberlakukannya
otonomi daerah ini adalah luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter,
kehakiman, dan fiskal. Masalah ketenagakerjaan pun menjadi lingkup kewenangan
pemerintah daerah, dengan menempatkannya dalam struktur organisasi dan tata
kerja dalam struktur “dinas”.
Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing, pengajuan mempergunakan tenaga kerja asing untuk
pertama kalinya diajukan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
selanjutnya untuk perpanjangan diajukan dan diberikan oleh Direktur atau
Gubernur/Walikota.
Perda Nomor 19 Tahun 2001 mempertimbangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999, Dalam undang-undang tersebut disebutkan daerah memiliki kewenangan
mengatur keberadaan tenaga kerja asing demi pembangunan daerah, hal ini berarti
pungutan yang berasal dari tenaga kerja asing seharusnya juga menjadi sumber
pendapatan asli daerah. Sedangkan pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan
menyatakan pungutan terhadap tenaga kerja asing sebagai pendapatan non pajak
Kementerian Keuangan menyatakan pungutan tersebut harus di setor kepada
Pemerintah Pusat.
Dengan demikian terjadi perbedaan pemahaman antara Pusat dan Daerah soal
tenaga kerja asing yang dapat menimbulkan permasalahan dan ketidakpastian
hukum. Hal tersebut tidak perlu terjadi karena dengan tuntutan instansi/lembaga
pemerintah di daerah untuk menjalankan otonomi di daerahnya, dalam rangka
ketenagakerjaan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130-67
Tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. Pada Lampairan
Keputusan Mendagri, khususnya Pada Bidang Ketenagakerjaan angka romawi I huruf
A: Penempatan dan pendayagunaan, angka 7 : Perizinan dan Pengawasan,
perpanjangan izin penggunaan tenaga Kerja asing, disebutkan bahwa kewenangan
yang dilimpahkan kepada Kabupaten/Kota adalah :
a.
Penelitian pelengkapan persyaratan perizinan
(IKTA);
b.
Analisis jabatan yang akan diisi oleh tenaga
kerja asing;
c. Pengecekan kesesuaian jabatan dengan Positif
List tenbaga kerja asing yang akan dikeluarkan oleh DEPNAKER;
d.
Pemberian perpanjangan izin (Perpanjangan IMTA);
e.
Pemantauan pelaksanaan kerja tenaga kerja asing;
dan
f.
Pemberian rekomendasi IMTA.
Terkait permohonan IKTA dalam rangka penenaman modal asing, didasarkan
pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor
KEP-105/MEN/1977 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja Bagi tenaga
Kerja Asing yang akan bekerja dalam rangka Koordinasi penanaman modal, diatur
bahwa IKTA dikeluarkan oleh Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP-03/MEN/1990 bahwa permohonan IKTA yang
diajukan oleh pemohon yang merupakan perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN,
disampaikan kepada Ketua BKPM (Pasal 9 ayat 2). Kemudian Ketua BKPM atas nama
Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan IKTA dengan tembusan disampaikan kepada
instansi teknis (Pasal 10 ayat 2 dan 3).
Selanjutnya pengaturan secara teknis tentang tata cara permohonan
penyelesaian IKTA bagi perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN, wajib menyesuaikan
dan mengikuti ketentuan dalam Kepmenaker Nomor KEP-416/MEN/1990 (Pasal 21).
Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP-169/MEN/2000 tentang Pencabutan
Kepmenaker Nomor KEP-105/MEN/1977 Tentang pelimpahan Wewenang Pemberian Izin
Kerja bagi Tenaga Kerja Asing yang akan bekerja dalam rangka Koordinasi
Penanaman Modal dan Kepmenaker Nomor KEP-105/MEN/1985 tentang Penunjukan Ketua
BKPM untuk mensahkan (RPTKA) dalam rangka penanaman modal, mencabut wewenang
pemberian izin kerja (IKTA) oleh Ketua BKPM dalam rangka penanaman modal (sejak
tanggal 1 Juli 2000). Selanjutnya pemberian IKTA dilaksanakan oleh Menteri
Tenaga Kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Persoalan ketenagakerjaan selalu mendapat
perhatian yang serius dari berbagai kalangan, baik pemerintah, swasta maupun
dari masyarakat. Dengan demikian, pembangunan ketenagakerjaan merupakan salah
satu aspek pendukung keberhasilan pembangunan nasional. Sehubungan hal tersebut
pengembangan SDM di Indonesia dilakukan melalui tiga jalur utama, yaitu
pendidikan, pelatihan dan pengembangan karir di tempat kerja.
Definisi angkatan kerja adalah penduduk
yang sudah memasuki usia kerja, baik yang sudah bekerja, belum bekerja, atau
sedang mencari pekerjaan. Menurut ketentuan pemerintah Indonesia, penduduk yang
sudah memasuki usia kerja adalah mereka yang berusia minimal 15 tahun sampai 65
tahun. Namun, tidak semua penduduk yang memasuki usia tadi disebut angkatan
kerja. Sebab penduduk yang tidak aktif dalam kegiatan ekonomi tidak termasuk
dalam kelompok angkatan kerja, seperti ibu rumah tangga, pelajar, dan
mahasiswa, serta penerima pendapatan (pensiunan).
DAFTAR PUSTAKA
Laporan, “Survey Nasional Tenaga Kerja Asing di Indonesia”, Bank
Indonesia, Tahun 2009.
Laporan Akhir Penelitian: Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia, BPHN, Tahun 2005.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga
Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.HT.04.02
Tahun 1997 Penggunaan Ahli Hukum Warga Negara Asing oleh Kantor Konsultan Hukum
Indonesia
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigarasi Nomor 223 Tahun 2003
Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban
Membayar Kompensasi.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.09-Pr.07.10 Tahun
2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI
Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing